
Khotbah Hijau Tosca
Telah datang kepadamu: sebentang zaman yang terang
dan manusia berbaris-baris mengumandangkan kebohongan.
Tapi kau tak dapat melihatnya, sebab pada sepasang matamu
telah mereka tuang berliter-liter cahaya yang memadamkan.
Cahaya yang telah memisahkan burung-burung dari kicaunya,
daun-daun dari hijaunya; yang mengelupas pagi dari waktu,
membuat ayat-ayat pingsan di kening-kening yang shaleh.
Pula terkabar: riwayat tentang langit, petir, dan tanah becek
dalam perang Vietnam; tentang denging yang tidak terdengar;
tentang kebenaran yang terkapar dalam lorong-lorong telingamu;
tentang cuaca penuh stempel, dan sesayat tanda tangan presiden.
Tapi kau tak mau percaya, sebab pada jantungmu telah tertanam
sebuah antena yang berdenyut-denyut, seperti dzikir malaikat;
memanggil-manggil, seperti candu; bergenting-genting, seperti
mewarisi bekas-bekas kesunyian di padang Shiffin, yang rindu
: kaki berderap-derap di jalanan iman yang kuno. Ketika Tuhan
yang mereka seru telah selesai dimakamkan dalam layar kaca,
bergigil-gigil namanya terus diteriakkan mentah-mentah!
Serupa pesta-diskon untuk mendekorasi peristiwa jatuh cinta;
yang diam-diam telah mengubah tubuhmu jadi pasukan musuh,
dan memoles utopia jadi senjata pemakan tuan. Seperti Majnun
menyulap diri sendiri jadi seorang budak yang agung.
“Laila, O, Laila… tidakkah kau mencintai leherku? Lihatlah!
Pangkalnya yang tabah, menanti-nanti lidahmu bersujud. Laila,
O, Laila… tidakkah kedua puting susumu mengemban gusar;
menyaksikan bibirku, dan bibirmu, yang berpapasan?”
***
Bukankah benar-benar nampak di hadapanmu: sebuah zaman
yang menggairahkan? Pula seorang pemimpin yang telah dikebiri
dari kehendaknya; Seorang rektor yang percaya bahwa jam malam
sanggup meredam desis vagina dan membuat geol bokong-bokong
menjadi lebih taat. Seperti memakaikan jilbab kepada waktu. Pula
seonggok penyair lapuk yang kelewat setia; memintal ucapan nabi,
dan melumuri benang-benang sejarah dengan darah yang amisnya
menyengat; demi mengabadikan nyeri selisih, juga pose dendam,
dan mengobati pikun dengan mengembalakan kebencian.
Sungguh, telah bertumpahan hingga pelosok daging-dagingmu
: lendir-lendir moral serupa lem perekat; antara pakaian dan tubuh
yang mengubur siapa saja dalam kata kerja. Gerak-Gerik begitu
palsu, kesantunan begitu palsu, bahasa begitu rapuh; dan semua
tak berarti, sebab semua tak dapat kaulepaskan. Gadis-Gadis,
kini bertelanjang dalam zirahnya. Pejabat-Pejabat bertelanjang
dalam kemeja dan dasinya. Para penceramah bertelanjang
dalam kalimat-kalimatnya.
O, Ayat-Ayat yang pudar dari huruf-hurufnya. O, Kesucian
yang luntur dari khusuknya, gemerincing denting lonceng Jibril
yang bergelimpangan dari lidah-lidah pembaca: tak ada hari jumat
dalam khotbahku! Aku tidak memakai masjid untuk mengeraskan
kalimat jadi batu atau butir-butir pelor. Kata-Kataku adalah getah
di nyala mata yang tersayat cahaya; cuma kicau-kicau yang panik
dalam sangkar; belaka kepak sepasang sayap yang kehilangan
terbangnya. Tak ada lem perekat yang menghapus kata kerja
“mengenakan” dan “melepas” dari kehendak-kehendakmu.
“Percayalah! Sebab kau boleh tak mempercayainya.”
***
Yaa Muqallibal Quluub Tsabbits Qolbii ‘Alaa Diinik
2016
Kepada Iwa
Seperti Sjahrir, Ia turut juga menyaksikan;
sore itu, Hatta bersama anak-anak Banda Neira
berjalan ke dalam hutan—atau Des Alwi
yang riang dimandikan ombak.
Tapi Iwa
Lelaki pendiam yang hidup dalam politik itu,
sesungguhnya sedang menyadap sisa-sisa layur laut
di kejauhan—seakan nampak: Perahu Bugis menyintas
pahit gelombang, yang dulu mengangkut keluarganya
dari Makassar kepada pulang. Dirematnya
denyit pasir.
Lalu berkata:
“Banda Neira adalah penjara!” Biji-Biji Pala
yang mengubah Parigi Tua menjadi Parigi Rante
—yang kelak mengubah Belgica, juga loji Tjipto:
jadi tiket plesir! Seperti jalan lupa mengubah
riwayat nama Iwa menjadi arena balap liar
di Ciamis.
Tapi Iwa, beruntung. Meskipun senja;
sihir yang menyulap jajaran nyiur, rona pantai,
warna percik pada pecah gelombang—terhubung
dengan kegaiban langit; tak pernah mengubah
pengasingan, menjadi surgaloka.
Sebab ia juga tak sempat tahu: sekujur penjuru
negeri yang ia bela dulu, telah serupa Banda Neira
dalam ingatannya. Orang seperti Iwa; kian tersisih.
Dan gerombolan cecunguk gampang tertampung
lantas menebar harum podium penuh racun.
Tahukah kau, Iwa?
Maklumat yang kaugubah jadi proklamasi,
cuma memerdekakan para cukong! Hukum perlu
digugat—dan yang bersebut rakyat, mewarisi
nasipmu: terus dilupakan. Para pekerja kasar,
buruh dan petani; hidup dalam cemooh.
Tak punya partai!
Iwa, kau juga beruntung tak menyaksikan; luka
sejarah yang disembuhkan dengan gemerlap pesta
amnesia dan lapar yang terus dipaksa begadang,
kerja lembur di lambung kota.
Sudah tak ada; kata berdarah, mulut dibekam.
Zaman telah seberisik balap liar—riuh suara-suara,
tidak lagi menyuarakan apa-apa. Cuma kehebohan
gelembung sabun. Kamilah yang terus bicara
untuk menempuh kebisuan sejarah.
Iwa, bila di sana kau bertemu Soekarno, atau
Tan Malaka—tolong sampaikan:
“Apakah kami diizinkan makar?”
Bila negara terus mengajak rakyatnya berdagang,
menjual rahim dan mimpi vagina kepada negeri lain;
masalalu dari tanah jauh yang melancong menjadi
masa depan kami. Persis ketika penjajah menjarah
wangi rempah, lalu menghibahkan labirin derita;
dan kami masih terjebak di dalamnya.
Tahukah kau, Iwa?
Kini, politik sekedar tips beternak omong kosong
dan menggandakan undang-undang! Kebodohan kami
tetap lapar dalam demokrasi. Kemiskinan kami
tetap berguna dalam demokrasi.
2015
Dialog Kecil
Apakah esok pagi akan ada, headline berita
tentang salju yang turun semalaman di kampung tropis?
Bila hanya pada jantungku, ada denyut yang beku.
Bila hanya pada mataku, ada tangis tertimbun
dingin—dan rindu yang tak bisa ngalir
Kepadamu:
Gus, bangunlah; bacakan lagi isi dalam kepalamu.
Biar debat lumas dalam lelucon, dan iman selalu terlepas
dari kegilaan atas kebenaran, atau dari birahi lidah
yang kelewat hebat menghendaki sengketa.
Biar tak ada; gereja meledak, masjid dibakar,
atau nama Tuhan yang tersungkur, yang tergusur.
Sebab ulah liar, oknum pemungut pajak sorga.
Si Penjagal senyum nabi—yang memanggang
ramah bibir dan khusuk dzikir, dengan api.
Bangunlah, Gus. Bangunlah! Cutilah sebentar
—dari matimu. Bangun, Gus. Bangunlah…
Ziarahi kami…
Ziarahi kami…
2015
HALIM BAHRIZ, Lahir di Lumajang, Jawa Timur, pada 1989. Punggung-Dada (2012) adalah buku (duet) puisi pertamanya.